(Cerpen ini menjadi Pemenang ke 3 dalam Lomba Cerpen Palestina dari NPC – Solistina)
“Aku tak dapat menyetujuinya, Nuha. Setidaknya untuk saat ini,” tegas Mohammed. Wajahnya muram. Kerut di dahinya bertambah dalam. Ayah mertua usia 64 tahun yang kesehariannya ramah dan suka tersenyum itu berubah total malam ini. Meskipun berada dalam ruangan temaram karena penerangan hanya dari 2 batang lilin – Israel hanya mengalirkan listrik ke Gaza selama 4 jam dalam sehari – Nuha bisa menangkap keresahan di wajah tua Mohammed.
Sementara ibu mertua Nuha, Samah, duduk di sebelah suaminya. Pandangannya menerawang. Sesekali ia menghapus air matanya. Mungkin ia teringat Yasin, anak laki-laki pertama yang merupakan suami Nuha. Yasin berada dalam penjara Israel! Serbuan kerinduan terhadap anak laki-lakinya yang hafal Al ur’an semenjak usia 15 tahun itu membuatnya melelehkan air mata. Pembicaraan serius antara mereka bertiga – Mohammed, Samah, dan Nuha, mau tak mau melibatkan Yasin. Situasi menjadi tegang tatkala Nuha menyampaikan sebuah keinginan, yaitu hamil dan melahirkan bayi. Tak ada yang aneh. Itu sebuah keinginan yang wajar dan normal. Tapi menjadi pelik karena Yasin ada di penjara, dan Nuha menjelaskan bahwa ia akan menempuh jalan pembuahan yang tidak alami, yakni dengan inseminasi.
Menyadari udara dalam ruangan semakin pengap, Samah beranjak membuka jendela. Angin malam yang menyeruak masuk hanya sedikit saja menolong, karena aliran udara musim panas itu terasa hangat. Mereka sebetulnya memiliki genset namun mesin pembangkit listrik tua lagi berisik itu sedang kehabisan bahan bakar. Situasi kelangkaan listrik, gas, dan bahan bakar minyak di Gaza sebetulnya hal biasa. Perilaku penjajah tak dapat ditebak. Keberadaan listrik dan gas sangat tergantung dari “kebaikan hati” Israel si penjajah. Kesabaran warga Gaza yang terblokade baik di darat maupun di laut sudah sangat terlatih semenjak belasan tahun lamanya. Mereka menumpahkan kesah dengan mengakrabi kitabullah dan mendapatkan hiburan dari deretan ayat-ayat Allah di dalamnya.
Nuha masih terdiam di kursinya. Perempuan 25 tahun itu baru beberapa bulan mengecap kehidupan bersuami istri saat tentara Israel menangkap Yasin. Saat itu ia 21 tahun dan Yasin 24 tahun. Sesudah menikah, mereka tinggal bersama keluarga Yasin di Dar el Balah. Boleh dikatakan kehidupan yang tenang. Ia melanjutkan kuliah diploma pendidikan guru sedangkan Yasin sebagai dosen bahasa Inggris di Islamic University of Gaza.
Yasin ditangkap lantaran penyebab sepele. Ia beradu mulut dengan tentara Israel tatkala sedang berdemo di acara Great Return March pada 2018 silam. Sampai sekarang belum ada keputusan sampai berapa lama ia harus mendekam di balik jeruji sel. Kenyataan pahit itu menjadi terlalu biasa bagi warga Palestina. Yasin pun hadapi dengan gagah berani. Nuha pernah beberapa kali mengunjunginya. Mereka berjumpa di balik kaca. Diawasi oleh tentara bersenjata. Waktu 10 menit berlalu seperti mengambang di udara, dan mereka pun harus berpisah kadang tanpa kata.
***
Sepekan yang lalu Nuha berkesempatan berjumpa dengan dokter Hakeem Abu Marzouq di kliniknya. Dokter Hakeem adalah dokter spesialis kandungan. Ia mendalami bidang fertilitas (kesuburan). Tentu Nuha tidak sendirian ke klinik yang berlokasi di Rimal, tak jauh dari rumah sakit Al Shifa tersebut. Ia memenuhi ajakan Ameena, seorang seniornya di kampus. Ameena bernasib sama dengannya, yaitu suaminya ditahan Israel. Lebih lama malahan, hampir 8 tahun. Saat itu Ameena baru saja melahirkan anaknya yang pertama. Anak itu sekarang tumbuh menjadi pemuda kecil yang tampan dan cerdas. Di usianya yang ketujuh, sudah 10 juz Al Qur’an dihafalnya. Ameena sedang menempuh terapi persiapan untuk menjalani proses inseminasi.
“Setahun terakhir ini berat badanku meningkat drastis, Nuha. Bayangkan, pertambahan tujuh kilogram dalam waktu 12 bulan saja. Aku sendiri terkejut saat menyadarinya,”papar Ameena. “Akibat berat badanku itu, dokter menemukan sel telurku terlalu kecil. Tak memadai untuk dibuahi. Semoga pengobatan dan penurunan berat badan yang kujalani ini segera membuahkan hasil.”
“Inseminasi atau lengkapnya Inseminasi Intra Uterin merupakan prosedur pembuahan dengan bantuan,” demikian dokter Kareem yang berambut seputih salju itu memulai penjelasannya. Di depannya, Ameena dan Nuha serius menyimak bagai pelajar sekolah lanjutan di hadapan guru. “Cairan sperma suami yang sudah terlebih dahulu dicuci, akan dimasukkan ke rahim istri. Tentu saja, waktunya harus bertepatan dengan masa subur istri, yaitu saat didapatkan sel telur yang matang, sehingga diharapkan bisa terjadi pembuahan dan selanjutnya kehamilan.”
“Jadi, aku bisa hamil tanpa suami?” Nuha terhenyak.
“Bukan tanpa suami. Engkau tahu hal itu hanya bisa dialami oleh Maryam, ibu nabi Isa,” cetus dokter Hakeem cepat. “Maksudku, engkau bisa hamil tanpa kehadiran suamimu, Nuha. Hanya membutuhkan spermanya saja. Tanyakan Ameena, karena dia pun akan menjalaninya.”
Nuha menoleh menatap wajah sahabat sekaligus seniornya. Ameena tersenyum mengiakan.
“Memperbanyak lahirnya bayi Palestina,” bisik Ameena. Dengan suami dipenjara istri tetap bisa melahirkan anak. Itu yang aku pikirkan. Dan suamiku sepakat.”
Nuha seperti menangkap secercah cahaya.
***
“Begitulah, Mama, aku ingin memanfaatkan kesempatan ini. Beruntung, aku menemani Ameena ke klinik. Alhamdulillah, Allah berikan berikan ilham dan kemudahan selepas pertemuan itu,” Nuha tuntas menumpahkan gejolak pemikirannya kepada ibu mertuanya
“Biar aku saja yang bicara kepada Baba. Percayakan kepadaku,” bisik Samah. Aku tahu sifat Baba. Dia agak konservatif, namun sebetulnya ia khawatir pandangan keluarga besar”
***
Beberapa pekan kemudian …
Sepagi itu Nuha sudah berada di klinik dokter Kareem. Di ruang tunggu yang sederhana, hanya hening yang ada. Lukisan bunga sepatu warna merah merona menjadi satu-satunya hiasan yang menempel di dinding. Nuha mencoba mengurangi ketegangannya dengan murajaah Al Qur’an. Dipilihnya surat Al Mukminun. Ia larut dan tenggelam dalam pemikiran 15 ayat pertama yang menjelaskan tentang tahap demi tahap penciptaan manusia. Sesekali, bayangan Yasin tetap berkelebat dalam benaknya tatkala ia sampai di ayat 5 sampai 7.
“dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa yang mencari di balik itu (zina), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” 1)
Diulang-ulangnya ketiga ayat tersebut, karena ia sangat membutuhkan penjagaan Allah di tengah kesendirian, kerinduan terhadap suami, serta keinginan adanya keturunan. Khusus keinginan terakhir tersebut, ia memohon agar dimantapkan niat bukan hanya hawa nafsu semata, namun lebih karena di masa depan diperlukan penerus generasi untuk perjuangan kemerdekaan Palestina.
Selain itu, Nuha juga mengulang-ulang ayat 12 sampai 14 :
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik”2)
Proses pembuahan yang dalam ukuran manusia sangat sulit ternyata mudah saja bagi Allah. Meski dokter sudah menyatakan dirinya sehat baik fisiknya maupun organ reproduksinya, tetap saja berbagai konsumsi berbagai suplemen, obat penyubur, dan suntikan hormon harus dijalaninya. Semua atas advis dan pantauan ketat dokter Kareem. “Tugas” Yasin untuk mengeluarkan sperma di dalam penjara pun tak mudah. Secara fisik maupun psikis sangat berat. Nyawa menjadi taruhan.
“Semoga engkau sabar, anakku. Aku harus pastikan bahwa kondisi sel telurmu harus benar-benar matang dan siap menerima pembuahan tatkala sperma suamimu tiba,” dokter Kareem sabar menjelaskan.
Nuha memang harus berpagi-pagi datang setelah semalam datang panggilan dari klinik. Ada rentang 3 hari dimana ia diperkirakan berada dalam masa subur. Namun juga harus diperhitungkan dengan kedatangan sperma. Jadilah hari ini, tanggal yang sudah dijadwalkan untuk sebuah keputusan. Apakah ia menjalani proses inseminasi atau justru harus melalui prosedur bayi tabung. Tentu saja yang terakhir itu akan lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak tindakan medis yang harus ia jalani. Kalau tidak, puluhan tablet penyubur dan suntikan hormon sejak awal haid bisa jadi percuma. Sementara, sperma Yasin sudah berada di klinik itu sejak sehari – tepatnya 18 jam – yang lalu. Salah seorang staf klinik sudah berpengalaman, sukses menyelundupkan cairan berharga itu dari penjara. Bersicepat dibawa ke Gaza, karena cairan itu tak kan bertahan lebih dari 48 jam.
“Saudariku, mari masuk,” ajak perawat berseragam biru muda. “Dokter akan menyampaikan keputusannya, apakah anda bisa dengan inseminasi saja atau harus dengan bayi tabung. Semua tergantung dari kualitas sperma. Tenang saja, yang akan melaksanakan prosedur inseminasi adalah dokter Khaleeda. Ia asisten dokter Kareem. Sikap santai namun tawakkal, itu pilihan terbaik,” perawat mencoba mencairkan suasana.
“Assalaamu’alaikum, Nuha. Sobahul khair! Semoga Allah memberkahimu, anakku,” sambut dokter Kareem. Ia tampak bersemangat sekali pagi walau tak dapat menyembunyikan gurat kelelahan di wajahnya. “Semalam ada operasi darurat harus yang kutangani. Maaf terpaksa panggilan mendadak untukmu. Ini, bacalah,”ujarnya sambil mengangsurkan selembar kertas.
Nuha menerima dengan tangan bergetar. Ia tahu, di kertas itu tertulis hasil analisa sperma. Angka-angka yang tercetak, menjadi dasar keputusan apakan ia bisa menjalankan teknologi reproduksi berbantu ini sekarang atau … tidak sama sekali.
“Hasilnya mengejutkan, aku pun hampir tak mempercayainya. Benih-benih itu masih sehat, berenang dengan cepat saling mendahului. Hari ini juga kuputuskan, engkau menjalani program inseminasi,” kata dokter setengah baya itu. “Setelahnya, engkau boleh pulang. Banyak berdoa. Sesudah sperma dilepaskan, ia akan mencari jalannya sendiri dengan tuntunan Allah. Tunggu empat belas hari ke depan, lihat apa yang terjadi.”
“Aah … aku … aku … masih belum jelas, dokter. Terutama soal kejadian di empat belas hari lagi itu. Apa lagi yang harus kuperbuat?” Nuha agak kebingungan.
“Ooh, engkau ini, Nuha,” dokter tertawa terbahak-bahak. “Yaah … aku baru ingat, engkau belum pernah hamil sebelumnya. Pasti bingung. Begini, kalau sperma itu berhasil membuahi sel telur dan kemudian terjadi kehamilan, maka engkau tidak akan mendapati haidmu di tanggal yang semestinya, jelas?”
Giliran Nuha yang tersipu. Betul juga. Bukankah kedatangannya kesini untuk memperoleh kehamilan. Walau tidak sepenuhnya alamiah, melainkan dengan campur tangan manusia. Istilahnya, teknologi reproduksi berbantu. Namun ia yakin, Allahlah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia mendapatkan setetes saja dari samudera ilmu itu untuk menolong manusia lain. Dalam konteks lebih besar, untuk Palestina yang dijajah ini, kelahiran generasi penerus menjadi hal yang sangat besar urgensinya. Maka tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi untuk mencapai tujuan tersebut.
Suaminya, Yasin, sudah sabar menanggung penderitaan di penjara – siapa pun tahu bagaimana kejamnya penjara Israel. Pasti untuk bisa memperoleh sperma dan menyelundupkannya bukan hal yang mudah. Nyawa taruhannya. Maka sudah semestinya Nuha mengimbangi dengan perjuangan yang sama. Menerima takdir kehamilan tanpa adanya suami, termasuk mungkin pertanyaan-pertanyaan dari kerabat atau bahkan kecurigaan dari tentara penjajah saat ia menjenguk Yasin, suatu saat nanti. Entah kapan.
Nuha mulai menapaki jalan perjuangan itu tatkala empat belas hari kemudian dia menengarai bahwa haidnya memang tidak datang. Tiga hari kemudian tetap tidak datang. Dan sebulan kemudian haid itu masih tak kunjung muncul, disusul ada rasa mual menyergap lambungnya di pagi hari … maka ia pun berucap, “Selamat datang buah cinta untuk Palestina!”
Catatan kaki
- Surat Al Mukminun ayat 5-7
- Surat Al Mukminun ayat 12-14