Sepenting apakah kedudukan tepung gandum bagi warga Palestina?
Saya awali kisah ini saat suatu siang di tahun 2010, saya bertandang ke rumah dokter Amin, salah seorang penerima bea siswa BSMI di Jakarta. Rupanya suami istri itu sedang membuat roti. Maka jadilah saya menonton demo pembuatan roti khas Palestina tersebut.
“Peralatan kalian lengkap sekali. Beli dimana?” celetuk saya dalam bahasa Inggris. Waktu itu mereka belum bisa berbahasa Indonesia.
“Ini dikirim khusus dari Gaza!”
“Wow!” Kaget juga saya membayangkan bagaimana oven dan panci bisa masuk koper. Bagaimana pula barang-barang itu bisa melintasi perbatasan Rafah yang terkenal ketat.
“Setiap keluarga di Gaza harus bisa membuat roti seperti ini. Mangkanya saya sampai minta dikirim peralatannya. Kalau bahan-bahannya, semua bisa dibeli di Jakarta,” urai Niveen, istri dr. Amin.
Tak lama roti pun masak, dan tentu saja saya dapat bagian yang pertama untuk mencicipinya.
Kairo, Januari 2024.
Empat belas tahun berselang dari saat demo pembuatan roti tersebut. Kami berada di kota Kairo dalam rangka pengecekan dan pengawalan bantuan untuk dikirim ke Gaza. Gaza yang indah kini hancur oleh serangan penjajah sejak 7 Oktober . Sebelumnya di 2014 dan 2021 memang ada serangan yang menewaskan lebih dari seribu orang, tapi dari semua itu, sekaranglah yang terbesar!
“Tidakkah kalian dari BSMI tertarik untuk menyumbangkan tepung gandum kepada warga Gaza?” tanya seorang staf GDD (Gaza Destek Dernagi) kepada kami di Ismailiyah, Mesir
Saat itu kami sedang berada di gudang untuk memilih jenis bantuan yang sekiranya sangat dibutuhkan oleh warga. Apakah selimut karena sekarang sedang musim dingin? Atau sembako karena langkanya bahan makanan pokok? Atau …. tenda, mengingat 80% bangunan perumahan hancur di Gaza sehingga warga tidur di tenda? Namun sepertinya usulan untuk mengirim tepung gandum menarik juga. Gandum merupakan makanan pokok di Gaza, karena ia merupakan bahan utama pembuatan roti. Di Gaza, alih-alih makan nasi, warga lebih terbiasa makan roti. Cara pembuatannya pun sederhana, hanya perlu sedikit garam dan air untuk menguleni. Untuk memanggang, warga sudah membuat sendiri “oven” sederhana dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.
Baiklah, akhirnya BSMI memutuskan untuk menyumbang tepung gandum bagi warga Gaza. Tidak tanggung-tanggung, kami penuhi 1 truk trailer dengan muatan tepung gandum seberat 30 ton. Untuk mempercepat proses, memang sebaiknya menyumbang langsung 1 truk. Bila tidak, maka perlu waktu untuk memenuhi muatan 1 truk dengan cara menunggu dari donatur lain. Apa beda tepung gandum yang akan disumbangkan dengan tepung terigu (yang notabene juga berasal dari gandum) di Indonesia? Tepung terigu dibuat hanya dari daging gandumnya saja, sedangkan tepung gandum yang dibuat dari seluruh bagian gandum utuh atau whole wheat.
Dua atau tiga hari kemudian kami mendapat panggilan untuk menyaksikan pemuatan tepung gandum ke atas truk, namun ternyata itu pemuatan ke truk lain! Sabar. Bagaimana pun tetap ada berita positif yakni banner sepanjang 20 meter yang nantinya akan menutupi badan truk, sudah jadi. Lelah menunggu sampai menjelang sore, kami balik ke Kairo. Perjalanan memakan waktu 90 menit.
“In syaa Allah nanti akan saya telepon,” janji Guruh. Anak muda Indonesia yang menjadi asisten kepercayaan bosnya GDD. Ia banyak membantu, terutama untuk mengatasi kendala bahasa.
Dua hari berlalu.
“Besok ya. In syaa Allah truknya BSMI sudah datang. Tepung siap dimuat!” suara Guruh lewat telepon.
Esoknya, kami berangkat pagi-pagi. Tepat pukul 10 waktu setempat, kami sudah di pabrik tepung. Ada 2 truk yang sedang mengantri di gudang. Truk yang depan sudah berisi setengah muatan .
“Truk BSMI yang di belakang,” terdengar suara Guruh. Agak terhenyak juga, karena langsung berpikir berapa lama kami harus menunggu mengingat untuk memenuhi seluruh truk trailer itu pasti membutuhkan waktu yang tak sebentar. Kami khawatir kesorean. Keresahan kami terbaca juga oleh para staf GDD. Akhirnya truk BSMI didahulukan untuk pemuatan tepung tersebut. Alhamdulillah.
Sedikit saya ceritakan tentang proses di pabrik tepung ini. Jadi, setelah gandum diolah menjadi tepung, maka dengan otomatis akan masuk ke dalam karung berkapasitas 35 kilogram. Proses selanjutnya adalah penyegelan karung yang juga dilakukan oleh mesin. Karung terisi gandum yang sudah diseegel akan menggelinding lewat sebuah terowongan keluar. Di luar, seorang pekerja menangkap karung tersebut dan memuatnya ke sebuah forklift. Nah, forklift inilah yang akan memuat ke atas truk. Begitulah berulang-ulang sampai termuat 30 ton. Oh ya, sebelum mulai pemuatan tepung banner sepanjang badan truk sudah dipasang terlebih dahulu, dengan bagian bawah banner ditindih oleh beberapa karung tepung. Nanti, setelah termuat semua, banner tersebut tinggal dibalik sehingga menutupi seluruh muatan.
Ada sedikit insiden saat pemuatan, yaitu garpu (fork) dari kendaraan forklift menusuk banner BSMI sehingga bolong di 2 tempat! Namun dengan cekatan petugas GDD langsung memperbaikinya dengan selotip. Sembari mengamati proses pemuatan tepung, saya sempatkan membuat pendek. Demikian pula rekan dari Republika dan Liputan 6 membuat sesi wawancara.
Sementara itu, prof. Basuki, sang pembina BSMI mendekati seseorang yang rupanya adalah sopir truk . Warga asli Mesir itu, Syihabuddin namanya. Ngobrollah mereka dengan bahasa Arab. Rupanya Syihabuddin ini baru pertama kali juga mengantar barang ke Rafah. Namun demikian ia tampak kooperatif. Termasuk ketika prof Basuki meminta agar ia bersedia melaporkan perjalannya sampai ke Rafah, dan mengirimkan video saat berada di perbatasan Mesir – Gaza tersebut. Maka terjadilah tukar menukar nomor WA, dan tak lupa selembar 100an pound diselipkan ke tangannya. Biaya sosial memang acap kali diperlukan dalam situasi begini. Berita dari sopir memang perlu karena sebagai bahan laporan ke para donatur dermawan di Indonesia.
Kami tidak mengikuti proses pemuatan sampai selesai, karena bakda maghrib sudah ditunggu oleh wamenkes untuk beraudiensi di kantornya. Guruh mengacungkan jempolnya tatkala kami pamitan. Anak muda ini sangat energik. Pantas bos GDD sangat mempercayainya.
Perjuangan memang butuh kesabaran. Kesabaran akan sesuatu yang tidak bisa dipastikan sesuai jadwal. Ini perang, bung! Walaupun tepung gandum sudah termuat seluruhnya, tidak berarti truk bisa langsung berangkat. Harus menunggu belasan truk lainnya dengan macam-macam muatan sesuai pesanan dari lembaga donor. Sampai suatu hari kami mendapat kabar bahwa proses pemuatan seluruh truk sudah selesai dan siap berangkat, itu pun ternyata masih ditunda lagi dikarenakan ada truk yang menyusul mau ikutan konvoi bareng.
Alhasil, saat rombongan truk benar-benar berangkat tim kami sudah digantikan tim berikutnya. Tak urung rasa haru memuncak dan doa pun spontan terpanjat tatkala melihat iring-iringan berjalan perlahan diiringi lambaian tangan para pengantar. Betapa gagahnya truk dengan tulisan “Humanitarian Aid from Indonesia People for Palestinian People” melaju menuju Rafah. Di bawah tulisan itu berderet logo-logo lembaga yang ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana. Kami sengaja member kesempatan untuk memasang logo, selain sebagai laporan juga sebagai penghormatan untuk para donatur.
Masa-masa selanjutnya adalah menunggu kabar dari Syihabuddin si sopir truk. Ibarat melepas anak panah, tangan kita sudah tak kuasa mengendalikan perjalanan. Kepada Allah Sang Maha Pengatur kami bertawakkal. Kami berpatokan ke perhitungan bahwa perjalanan dari Ismailiyah ke Rafah yang berjarak 400 kilometer itu akan ditempuh dalam waktu 7-10 hari. Kok lama sekali? Ya memang. Waktu tempuh yang seharusnya hanya 6-8 jam itu memanjang dikarenakan banyaknya check point yang harus dilalui. Maka tatkala ada kabar bahwa truk sudah sampai di Rafah Mesir setelah 4 hari perjalanan betapa bersyukurnya hati ini. Kabar tersebut disertai dengan foto yang agak kabur dan video penuh getaran menggambarkan suasana perbatasan. Tampak banyak truk dan kendaraan lain serta orang lalu lalang. Tiga hari sesudahnya, masuk kabar bahwa tepung sudah berada di Rafah Gaza. Namun tak seperti biasanya, rombongan masuk dari pintu Karim Abu Salim. Pintu ini terletak di sebelah timur Rafah, atau sisi tenggara dari jalur Gaza. Pintu ini berbatasan dengan wilayah Palestina yang diduduki Israel. Apa pun, syukur kami berlipat-lipat karena tak lama kemudian tersiar kabar bahwa pemukim illegal datang ke wilayah Karim Abu Salim tersebut untuk menghalangi masuknya bantuan bagi warga Gaza.
Beberapa waktu kemudian, barulah dokumentasi dikirimkan oleh pihak GDD. sejumlah foto dan video itu menunjukkan suasana pembagian tepung kepada warga yang tinggal di tenda-tenda kamp pengungsian Rafah. Sekarung tepung untuk setiap tenda. Menurut perhitungan salah seorang kenalan di Gaza, jumlah tersebut diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan 1 keluarga selama 2 bulan. Semoga demikian. Walau pun tampak kecil namun tetap saja kami berdoa tepung tersebut dapat menguatkan fisik para pengungsi. Aamiin. [nin]