Perjalanan Sekarung Tepung Gandum

Sepenting apakah kedudukan tepung gandum bagi warga Palestina?

Saya awali kisah ini saat suatu siang di tahun 2010, saya bertandang ke rumah dokter Amin, salah seorang penerima bea siswa BSMI di Jakarta. Rupanya suami istri itu sedang membuat roti.  Maka jadilah saya menonton demo pembuatan roti khas Palestina tersebut. 

“Peralatan kalian lengkap sekali. Beli dimana?” celetuk saya dalam bahasa Inggris. Waktu itu mereka belum bisa berbahasa Indonesia.

“Ini dikirim khusus dari Gaza!”

“Wow!” Kaget juga saya membayangkan bagaimana oven dan panci bisa masuk koper. Bagaimana pula barang-barang itu bisa melintasi perbatasan Rafah yang terkenal ketat.

“Setiap keluarga di Gaza harus bisa membuat roti seperti ini.  Mangkanya saya sampai minta dikirim peralatannya. Kalau bahan-bahannya, semua bisa dibeli di Jakarta,” urai Niveen, istri dr. Amin.

Tak lama roti pun masak, dan tentu saja saya dapat bagian yang pertama untuk mencicipinya.

Kairo, Januari 2024.

 Empat belas tahun berselang dari saat demo pembuatan roti tersebut. Kami berada di kota Kairo dalam rangka pengecekan dan pengawalan bantuan untuk dikirim ke Gaza. Gaza yang indah kini hancur oleh serangan penjajah sejak 7 Oktober .  Sebelumnya di 2014 dan 2021 memang ada serangan yang menewaskan lebih dari seribu orang, tapi dari semua itu, sekaranglah yang terbesar!

“Tidakkah kalian dari BSMI tertarik untuk menyumbangkan tepung gandum kepada warga Gaza?” tanya seorang staf GDD (Gaza Destek Dernagi) kepada kami di Ismailiyah, Mesir

Saat itu kami sedang berada di gudang untuk memilih jenis bantuan yang sekiranya sangat dibutuhkan oleh warga.  Apakah selimut karena sekarang sedang musim dingin? Atau sembako karena langkanya bahan makanan pokok?  Atau …. tenda, mengingat 80% bangunan perumahan hancur di Gaza sehingga warga tidur di tenda? Namun sepertinya usulan untuk mengirim tepung gandum menarik juga.  Gandum merupakan makanan pokok di Gaza, karena ia merupakan bahan utama pembuatan roti.  Di Gaza, alih-alih makan nasi, warga lebih terbiasa makan roti.  Cara pembuatannya pun sederhana, hanya perlu sedikit garam dan air untuk menguleni.  Untuk memanggang, warga sudah membuat sendiri “oven” sederhana dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.

Baiklah, akhirnya BSMI memutuskan untuk menyumbang tepung gandum bagi warga Gaza.  Tidak tanggung-tanggung, kami penuhi 1 truk trailer dengan muatan tepung gandum seberat 30 ton.  Untuk mempercepat proses, memang sebaiknya menyumbang langsung 1 truk.  Bila tidak, maka perlu waktu untuk memenuhi muatan 1 truk dengan cara menunggu dari donatur lain.  Apa beda tepung gandum yang akan disumbangkan dengan tepung terigu (yang notabene juga berasal dari gandum) di Indonesia? Tepung terigu dibuat hanya dari daging gandumnya saja, sedangkan tepung gandum yang dibuat dari seluruh bagian gandum utuh atau whole wheat.

Dua atau tiga hari kemudian kami mendapat panggilan untuk menyaksikan pemuatan tepung gandum ke atas truk, namun ternyata itu pemuatan ke truk  lain!  Sabar.  Bagaimana pun tetap ada berita positif yakni banner sepanjang 20 meter yang nantinya akan menutupi badan truk, sudah jadi.  Lelah menunggu sampai menjelang sore, kami balik ke Kairo. Perjalanan memakan waktu 90 menit. 

“In syaa Allah nanti akan saya telepon,” janji Guruh.  Anak muda Indonesia yang menjadi asisten kepercayaan bosnya GDD.  Ia banyak membantu, terutama untuk mengatasi kendala bahasa.  

Dua hari berlalu.

“Besok ya. In syaa Allah truknya BSMI sudah datang. Tepung siap dimuat!” suara Guruh lewat telepon. 

Esoknya, kami berangkat pagi-pagi.  Tepat pukul 10 waktu setempat, kami sudah di pabrik tepung.  Ada 2 truk yang sedang mengantri di gudang.  Truk yang depan sudah berisi setengah muatan .

“Truk BSMI yang di belakang,” terdengar suara Guruh.   Agak terhenyak juga, karena langsung berpikir berapa lama kami harus menunggu mengingat untuk memenuhi seluruh truk trailer itu pasti membutuhkan waktu yang tak sebentar.  Kami khawatir kesorean.  Keresahan kami terbaca juga oleh para staf GDD.  Akhirnya truk BSMI didahulukan untuk pemuatan tepung tersebut.  Alhamdulillah. 

Sedikit saya ceritakan tentang proses di pabrik tepung ini.  Jadi, setelah gandum diolah menjadi tepung, maka dengan otomatis akan masuk ke dalam karung berkapasitas 35 kilogram.  Proses selanjutnya adalah penyegelan karung yang juga dilakukan oleh mesin.  Karung terisi gandum yang sudah diseegel akan menggelinding lewat sebuah terowongan keluar.  Di luar, seorang pekerja menangkap karung tersebut dan memuatnya ke sebuah forklift.  Nah, forklift inilah yang akan memuat ke atas truk.   Begitulah berulang-ulang sampai termuat 30 ton. Oh ya, sebelum mulai pemuatan tepung  banner sepanjang badan truk sudah dipasang terlebih dahulu, dengan bagian bawah banner ditindih oleh beberapa karung tepung.  Nanti, setelah termuat semua, banner tersebut tinggal dibalik sehingga menutupi seluruh muatan. 

Ada sedikit insiden saat pemuatan, yaitu garpu (fork) dari kendaraan forklift menusuk banner BSMI sehingga bolong di 2 tempat! Namun dengan cekatan petugas GDD langsung memperbaikinya dengan selotip.  Sembari mengamati proses pemuatan tepung, saya sempatkan membuat pendek. Demikian pula rekan dari Republika dan Liputan 6 membuat sesi wawancara. 

Sementara itu, prof. Basuki, sang pembina BSMI mendekati seseorang yang rupanya adalah sopir truk .  Warga asli Mesir itu, Syihabuddin namanya.  Ngobrollah mereka dengan bahasa Arab.  Rupanya Syihabuddin ini baru pertama kali juga mengantar barang ke Rafah.  Namun demikian ia tampak kooperatif.  Termasuk ketika prof Basuki meminta agar ia bersedia melaporkan perjalannya sampai ke Rafah, dan mengirimkan video saat berada di perbatasan Mesir – Gaza tersebut.  Maka terjadilah tukar menukar nomor WA, dan tak lupa selembar 100an pound diselipkan ke tangannya.  Biaya sosial memang acap kali diperlukan dalam situasi begini.  Berita dari sopir memang perlu karena sebagai bahan laporan ke para donatur dermawan di Indonesia.

Kami tidak mengikuti proses pemuatan sampai selesai, karena bakda maghrib sudah ditunggu oleh wamenkes untuk beraudiensi di kantornya.  Guruh mengacungkan jempolnya tatkala kami pamitan.  Anak muda ini sangat energik.  Pantas bos GDD sangat mempercayainya.

Perjuangan memang butuh kesabaran.  Kesabaran akan sesuatu yang tidak bisa dipastikan sesuai jadwal.  Ini perang, bung! Walaupun tepung gandum sudah termuat seluruhnya, tidak berarti truk bisa langsung berangkat.  Harus menunggu belasan truk lainnya dengan macam-macam muatan sesuai pesanan dari lembaga donor.  Sampai suatu hari kami mendapat kabar bahwa proses pemuatan seluruh truk sudah selesai dan siap berangkat, itu pun ternyata masih ditunda lagi dikarenakan ada truk yang menyusul mau ikutan konvoi bareng. 

Alhasil, saat rombongan truk benar-benar berangkat tim kami sudah digantikan tim berikutnya.  Tak urung rasa haru memuncak dan doa pun spontan terpanjat tatkala melihat iring-iringan berjalan perlahan diiringi lambaian tangan para pengantar.  Betapa gagahnya truk dengan tulisan “Humanitarian Aid from Indonesia People for Palestinian People” melaju menuju Rafah.  Di bawah tulisan itu berderet logo-logo lembaga yang ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana.  Kami sengaja member kesempatan untuk memasang logo, selain sebagai laporan juga sebagai penghormatan untuk para donatur.

 Masa-masa selanjutnya adalah menunggu kabar dari Syihabuddin si sopir truk.  Ibarat melepas anak panah, tangan kita sudah tak kuasa mengendalikan perjalanan.  Kepada Allah Sang Maha Pengatur kami bertawakkal.  Kami  berpatokan ke perhitungan bahwa perjalanan dari Ismailiyah ke Rafah yang berjarak 400 kilometer itu akan ditempuh dalam waktu 7-10 hari.  Kok lama sekali? Ya memang.  Waktu tempuh yang seharusnya hanya 6-8 jam itu memanjang dikarenakan banyaknya check point yang harus dilalui.  Maka tatkala ada kabar bahwa truk sudah sampai di Rafah Mesir setelah 4 hari perjalanan betapa bersyukurnya hati ini.  Kabar tersebut disertai dengan foto yang agak kabur dan video penuh getaran menggambarkan suasana perbatasan.  Tampak banyak truk dan kendaraan lain serta orang lalu lalang.  Tiga hari sesudahnya, masuk kabar bahwa tepung sudah berada di Rafah Gaza.  Namun tak seperti biasanya, rombongan masuk dari pintu Karim Abu Salim.  Pintu ini terletak di sebelah timur Rafah, atau sisi tenggara dari jalur Gaza.  Pintu ini berbatasan dengan wilayah Palestina yang diduduki Israel. Apa pun, syukur kami berlipat-lipat karena tak lama kemudian tersiar kabar bahwa pemukim illegal datang ke wilayah Karim Abu Salim tersebut untuk menghalangi masuknya bantuan bagi warga Gaza. 

Beberapa waktu kemudian, barulah dokumentasi dikirimkan oleh pihak GDD.  sejumlah foto dan video itu menunjukkan suasana pembagian tepung kepada warga yang tinggal di tenda-tenda kamp pengungsian Rafah.  Sekarung tepung untuk setiap tenda.  Menurut perhitungan salah seorang kenalan di Gaza, jumlah tersebut diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan 1 keluarga selama 2 bulan.  Semoga demikian. Walau pun tampak kecil namun tetap saja kami berdoa tepung tersebut dapat menguatkan fisik para pengungsi.  Aamiin.  [nin]  

Pemusnahan Jimat

Sepanjang perjalanan menjadi dokter kandungan dan memeriksa sekian banyak bumil, acap kali saya jumpai para bumil itu menegenakan jimat. Macam-macam jenisnya, namun kebanyakan berupa peniti, gunting lipat, dan bangle. Sambil saya nasihati, biasanya saya suruh mereka melepas jimat tersebut. Sebagian besar mau melepasnya, namun sebagian kecil menolak dengan berbagai macam alasan. Ya sudahlah, tugas saya hanya sebatas menasihati. Tulisan tentang jimat bisa dibaca di IBU HAMIL, PERLUKAH PAKAI JIMAT? dan di Ibu Hamil….Jauhilah Benda-Benda Ini .

Nah, “koleksi” jimat itu akhirnya jadi banyak. Ada kira-kira 1 toples kecil! Tidak ada maksud lain dari tindakan menyimpan jimat itu selain untuk edukasi. Saya foto untuk dijadikan ilustrasi tulisan, atau saat menjadi pemateri dalam sebuah seminar saya tunjukkan kepada para peserta, seperti apa bentuk jimat itu. Bisa jadi, mereka memakainya tanpa sengaja karena faktor ketidaktahuan.

Pada suatu kesempatan, kami mengundang seorang ustadz untuk memberikan materi tentang rukyah, dan sekaligus berdiskusi setelahnya. Saya ungkapkan bahwa di jaman milenial ini ternyata para ibu muda masih ada yang percaya jimat. Lalu saya tunjukkan “koleksi” saya tersebut kepada beliau. Di luar dugaan ternyata sang ustadz menganggap serius. Beliau malah menyarankan untuk segera memusnahkan jimat-jimat tersebut. Saya kemukakan bahwa selama ini tidak pernah ada kejadian apa pun sehubungan dengan penyimpanan jimat. Namun justru beliau makin kuat menyarankan pemusnahan. Baiklah, saya pikir juga buat apa benda-benda itu saya simpan. Toh dokumentasinya sudah ada. Maka saya ikhlaskan saja proses pemusnahan tersebut.

foto kiri : kumpulan jimat dalam mangkok.

Foto kanan : proses pembakaran

Diputuskan bahwa jimat akan dimusnahkan dengan cara dibakar. Maka kami pun ke halaman mencari tempat aman. Ustadz meminta kertas-kertas tidak terpakai dan salah seorang pegawai menuangkan bensin. Setelah berdoa, ustadz menyalakan api dan ….musnahlah jimat-jimat yang saya kumpulkan sejak 20 tahun yang lalu. Sisa jimat yang tidak terbakar – seperti gunting dan peniti – dikubur. Bereslah. Semoga tindakan ini menjauhkan kami dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. In syaa Allah. Semoga setelah ini saya tidak pernah lagi menjumpai ibu hamil pakai jimat. Aamiin. [nin]

Para Dokter yang Buka Praktek di Pinggir Jalan

Memasuki hari ke 120 peperangan berkecamuk di sepanjang jalur Gaza.  Tak ada lagi tempat aman.  Penjajah membabi buta menghancurkan perumahan dan seluruh infrastruktur di seluruh Gaza.  Enam puluh enam ton bom yang sudah dijatuhkan membuat 2 juta warga Gaza berstatus pengungsi karena ketiadaan tempat tinggal. Sementara itu tempat aman seperti gedung sekolah, rumah sakit, dan masjid tak luput menjadi sasaran pengeboman.  Tak kurang dari 235 sarana kesehatan yang rusak, dan tercatat 309 orang tenaga kesehatan syahid dan 380 orang luka-luka.  Rumah sakit besar tak bisa berfungsi karena rusak parah!

Namun demikian ketahanan mental warga Gaza memang mengagumkan! Selain itu daya juang dan semangat hidup mereka sangat tinggi. Termasuk para dokter dan paramedis di rumah sakit dan klinik. Walaupun disadari bahwa profesi tersebut menjadikan mereka target pengeboman, namun jiwa kemanusiaan yang sudah mendarah daging membuat mereka tetap memenuhi panggilan tugas.

Salah satu di antaranya adalah Ali Moqat,   seorang dokter yang memiliki  klinik dan apotik di Jabaliya, Gaza Utara.  Apotik dan klinik tersebut hancur dibom. Namun saat kondisi mereda, dengan ketelatenan tingkat tinggi dia kumpulkan satu demi satu obat-obat yang tersisa dan masih bisa digunakan.  Tak lama kemudian, ia pun sudah membuka praktek di pinggir jalan, tak jauh dari RS Al Shifa. Ia menerima konsultasi dan meresepkan obat sembari berdiri di tengah reruntuhan.  Tentu saja, resep tersebut ditebus langsung di apotiknya sendiri. Atas ijinnya, foto-foto ini kami dapatkan.

Rajab Murtaja juga seorang dokter yang berstatus pengungsi.  Ia pun didapuk menjadi supervisor dari kamp pengungsian  Al Falah, yang tadinya merupakan sebuah sekolah di kawasan Sabrah.  Ada 14.000 orang warga bertempat tinggal (mengungsi) di sana, kebanyakan berasal dari Sabrah dan Al Zaitun.  Sebagai seorang dokter, dia tak dapat tinggal diam melihat kondisi pengungsian yang rawan menimbulkan penyakit.  Semangatnya untuk menolong orang tak pudar. Begitu kondisi memungkinkan, ia pun buka praktek di salah satu ruang kelas.  Namun apa daya, obat-obatan yang dia punya sangat terbatas, demikian juga alat-alat kesehatannya.  Ia sangat membutuhkan antibiotik, penghilang nyeri, dan obat-obatan untuk penyakit kronis.  Yang terbanyak dibutuhkan adalah obat anti hipertensi dan obat diabetes. 

“Situasi ini memang sulit. Kami mencari dana kemana-mana. Terkadang ada donasi untuk pelayanan kesehatan di sini. Tak banyak, 20-50 shekel saja

dr. Rajab di Kliniknya.

Alhamdulillah, bantuan tunai BSMI bisa membantunya melangkapi kebutuhan obat-obatan tersebut.  Dia berterima kasih karena dengan demikian usahanya untuk memelihara kesehatan para pengungsi bisa berjalan dengan baik. 

“Ingat tidak sama Dr. Motasem? Dulu, BSMI pernah bantu dia!” Sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel saya.

Pelan-pelan ingatan saya muncul kembali.  Saat itu, Motasem hampir menyelesaikan pendidikan dokternya. Ia kesulitan keuangan dan terancam DO. Alhamdulillah datang kiriman dari BSMI dan ia berhasil lulus. Bahkan, sekarang menjadi dokter spesialis orthopaedi. Tadinya ia bekerja di RS Al Shifa. Namun seiring dengan serangan masif penjajah yang mengakibatkan kolapsnya rumah sakit terbesar di Gaza City tersebut, ia akhirnya  melayani pasien dimana saja dibutuhkan.  Di rumah sakit kecil atau di klinik-klinik yang masih buka.  Namun seringnya ia justru mendatangai pasien – pasiennya di tempat pengungsian.  Ini mengingat kondisi jalan yang sedemikian buruknya serta ketiadaan transportasi sehingga menyulitkan apabila pasien mesti datang ke klinik.

Semoga Allah melindungi mereka, demikian juga para tenaga medis lainnya. Sehingga mereka beserta seluruh warga Gaza yang tersisa bisa menyaksikan kemerdekaan Palestina. [nin]

CINTA DALAM SEBUAH PENYELUNDUPAN

(Cerpen ini menjadi Pemenang ke 3 dalam Lomba Cerpen Palestina dari NPC – Solistina)

“Aku tak dapat menyetujuinya, Nuha. Setidaknya untuk saat ini,” tegas Mohammed. Wajahnya muram. Kerut di dahinya bertambah dalam. Ayah mertua usia 64 tahun yang kesehariannya ramah dan suka tersenyum itu berubah total malam ini.  Meskipun berada dalam ruangan  temaram karena penerangan hanya dari 2 batang lilin – Israel hanya mengalirkan listrik ke Gaza selama 4 jam dalam sehari – Nuha bisa menangkap keresahan di wajah tua Mohammed.

Sementara ibu mertua Nuha, Samah,  duduk di sebelah suaminya.  Pandangannya menerawang. Sesekali ia menghapus air matanya. Mungkin ia teringat Yasin, anak laki-laki pertama yang merupakan suami Nuha.  Yasin berada dalam penjara Israel! Serbuan kerinduan terhadap anak laki-lakinya yang hafal Al ur’an semenjak usia 15 tahun itu membuatnya melelehkan air mata.  Pembicaraan serius antara mereka bertiga – Mohammed, Samah, dan Nuha, mau tak mau melibatkan Yasin.  Situasi menjadi tegang tatkala Nuha menyampaikan sebuah keinginan, yaitu hamil dan melahirkan bayi.  Tak ada yang aneh. Itu sebuah keinginan yang wajar dan normal. Tapi menjadi pelik karena Yasin ada di penjara, dan Nuha menjelaskan bahwa ia akan menempuh jalan pembuahan yang tidak alami, yakni dengan inseminasi.

Menyadari udara dalam ruangan semakin pengap, Samah beranjak membuka jendela.  Angin malam yang menyeruak masuk hanya sedikit saja menolong, karena aliran udara musim panas itu terasa hangat.  Mereka sebetulnya memiliki genset namun  mesin pembangkit listrik tua lagi berisik itu sedang kehabisan bahan bakar.  Situasi kelangkaan listrik, gas, dan bahan bakar minyak di Gaza sebetulnya hal biasa. Perilaku penjajah tak dapat ditebak. Keberadaan listrik dan gas sangat tergantung dari “kebaikan hati” Israel si penjajah.  Kesabaran warga Gaza yang terblokade baik di darat maupun di laut sudah sangat terlatih semenjak belasan tahun lamanya.  Mereka menumpahkan kesah dengan mengakrabi kitabullah dan mendapatkan hiburan dari deretan ayat-ayat Allah di dalamnya.

Nuha masih terdiam di kursinya.  Perempuan 25 tahun itu baru beberapa bulan mengecap kehidupan bersuami istri saat tentara Israel menangkap Yasin.  Saat itu ia 21 tahun dan Yasin 24 tahun.  Sesudah menikah, mereka tinggal bersama keluarga Yasin di Dar el Balah.  Boleh dikatakan kehidupan yang tenang. Ia melanjutkan kuliah diploma pendidikan guru sedangkan Yasin sebagai dosen bahasa Inggris di Islamic University of Gaza. 

Yasin ditangkap lantaran penyebab sepele. Ia beradu mulut dengan tentara Israel tatkala sedang berdemo di acara Great Return March pada 2018 silam.  Sampai sekarang belum ada keputusan sampai berapa lama ia harus mendekam di balik jeruji sel. Kenyataan pahit itu menjadi terlalu biasa bagi warga Palestina. Yasin pun hadapi dengan gagah berani.  Nuha pernah beberapa kali mengunjunginya. Mereka berjumpa di balik kaca. Diawasi oleh tentara bersenjata. Waktu 10 menit berlalu seperti mengambang di udara, dan mereka pun harus berpisah kadang tanpa kata. 

***

Sepekan yang lalu Nuha berkesempatan berjumpa dengan dokter Hakeem Abu Marzouq di kliniknya.  Dokter Hakeem adalah dokter spesialis kandungan.  Ia mendalami bidang fertilitas (kesuburan).  Tentu Nuha tidak sendirian ke klinik yang berlokasi di Rimal, tak jauh dari rumah sakit Al Shifa tersebut.  Ia memenuhi ajakan Ameena, seorang seniornya di kampus.  Ameena bernasib sama dengannya, yaitu suaminya ditahan Israel.  Lebih lama malahan, hampir 8 tahun.  Saat itu Ameena baru saja melahirkan anaknya yang pertama.  Anak itu sekarang tumbuh menjadi pemuda kecil yang tampan dan cerdas.  Di usianya yang ketujuh, sudah 10 juz Al Qur’an dihafalnya.   Ameena sedang menempuh terapi persiapan untuk menjalani proses inseminasi. 

“Setahun terakhir ini berat badanku meningkat drastis, Nuha.  Bayangkan, pertambahan tujuh kilogram dalam waktu 12 bulan saja. Aku sendiri terkejut saat menyadarinya,”papar Ameena. “Akibat berat badanku itu, dokter menemukan sel telurku terlalu kecil.  Tak memadai untuk dibuahi.  Semoga pengobatan dan penurunan berat badan yang kujalani ini segera membuahkan hasil.”   

“Inseminasi atau lengkapnya Inseminasi Intra Uterin merupakan prosedur pembuahan dengan bantuan,” demikian dokter Kareem yang berambut seputih salju itu memulai penjelasannya.  Di depannya, Ameena dan Nuha serius menyimak bagai pelajar sekolah lanjutan di hadapan guru.  “Cairan sperma suami yang sudah terlebih dahulu dicuci, akan dimasukkan ke rahim istri.  Tentu saja, waktunya harus bertepatan dengan masa subur istri, yaitu saat didapatkan sel telur yang matang, sehingga diharapkan bisa terjadi pembuahan dan selanjutnya kehamilan.”

“Jadi, aku bisa hamil tanpa suami?” Nuha terhenyak.

“Bukan tanpa suami. Engkau tahu hal itu hanya bisa dialami oleh Maryam, ibu nabi Isa,” cetus dokter Hakeem cepat. “Maksudku, engkau bisa hamil tanpa kehadiran suamimu, Nuha. Hanya membutuhkan spermanya saja. Tanyakan Ameena, karena dia pun akan menjalaninya.”

Nuha menoleh menatap wajah sahabat sekaligus seniornya.  Ameena tersenyum mengiakan.

“Memperbanyak lahirnya bayi Palestina,” bisik Ameena. Dengan suami dipenjara istri tetap bisa melahirkan anak. Itu yang aku pikirkan. Dan suamiku sepakat.”

Nuha seperti menangkap secercah cahaya.

***

“Begitulah, Mama, aku ingin memanfaatkan kesempatan ini.  Beruntung, aku menemani Ameena ke klinik.  Alhamdulillah, Allah berikan berikan ilham dan kemudahan selepas pertemuan itu,” Nuha tuntas menumpahkan gejolak pemikirannya kepada ibu mertuanya

            “Biar aku saja yang bicara kepada Baba. Percayakan kepadaku,” bisik Samah. Aku tahu sifat Baba.  Dia agak konservatif, namun sebetulnya ia khawatir pandangan keluarga besar” 

***

Beberapa pekan kemudian …

Sepagi itu Nuha sudah berada di klinik dokter Kareem. Di ruang tunggu yang sederhana, hanya hening yang ada.  Lukisan bunga sepatu warna merah merona menjadi satu-satunya hiasan yang menempel di dinding.  Nuha mencoba mengurangi ketegangannya dengan murajaah Al Qur’an.  Dipilihnya surat Al Mukminun. Ia larut dan tenggelam dalam pemikiran 15 ayat pertama yang menjelaskan tentang tahap demi tahap penciptaan manusia.  Sesekali, bayangan Yasin tetap berkelebat dalam benaknya tatkala ia sampai di ayat 5 sampai 7.  

“dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa yang mencari di balik itu (zina),  maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”  1)

Diulang-ulangnya ketiga ayat tersebut, karena ia sangat membutuhkan penjagaan Allah di tengah kesendirian, kerinduan terhadap suami, serta keinginan adanya keturunan. Khusus keinginan terakhir tersebut, ia memohon agar dimantapkan niat bukan hanya hawa nafsu semata, namun lebih karena di masa depan diperlukan penerus generasi untuk perjuangan kemerdekaan Palestina.

Selain itu, Nuha juga mengulang-ulang ayat 12 sampai 14 :

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain.  Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik”2)

Proses pembuahan yang dalam ukuran manusia sangat sulit ternyata mudah saja bagi Allah. Meski dokter sudah menyatakan dirinya sehat baik fisiknya maupun organ reproduksinya,  tetap saja berbagai konsumsi berbagai suplemen, obat penyubur, dan suntikan hormon harus dijalaninya.  Semua atas advis dan pantauan ketat dokter Kareem.  “Tugas” Yasin untuk mengeluarkan sperma di dalam penjara pun tak mudah.  Secara fisik maupun psikis sangat berat.  Nyawa menjadi taruhan.

“Semoga engkau sabar, anakku. Aku harus pastikan bahwa kondisi sel telurmu harus benar-benar matang dan siap menerima pembuahan tatkala sperma suamimu tiba,” dokter Kareem sabar menjelaskan. 

Nuha memang harus berpagi-pagi datang setelah semalam datang panggilan dari klinik. Ada rentang 3 hari dimana ia diperkirakan berada dalam masa subur.  Namun juga harus diperhitungkan dengan kedatangan sperma.  Jadilah hari ini, tanggal yang sudah dijadwalkan untuk sebuah keputusan.  Apakah ia menjalani proses inseminasi atau justru harus melalui prosedur bayi tabung. Tentu saja yang terakhir itu akan lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak tindakan medis yang harus ia jalani.  Kalau tidak, puluhan tablet penyubur dan suntikan hormon sejak awal haid bisa jadi percuma.  Sementara, sperma Yasin sudah berada di klinik itu sejak sehari – tepatnya 18 jam –  yang lalu.  Salah seorang staf klinik sudah berpengalaman, sukses menyelundupkan cairan berharga itu dari penjara. Bersicepat dibawa ke Gaza, karena cairan itu tak kan bertahan lebih dari 48 jam.

“Saudariku, mari masuk,” ajak perawat berseragam biru muda. “Dokter akan menyampaikan keputusannya, apakah anda bisa dengan inseminasi saja atau harus dengan bayi tabung. Semua tergantung dari kualitas sperma. Tenang saja, yang akan melaksanakan prosedur inseminasi adalah dokter Khaleeda. Ia asisten dokter Kareem. Sikap santai namun tawakkal, itu pilihan terbaik,” perawat mencoba mencairkan suasana. 

“Assalaamu’alaikum, Nuha. Sobahul khair! Semoga Allah memberkahimu, anakku,” sambut  dokter Kareem. Ia tampak bersemangat sekali pagi walau tak dapat menyembunyikan gurat kelelahan di wajahnya. “Semalam ada operasi darurat harus yang kutangani. Maaf terpaksa panggilan mendadak untukmu.  Ini, bacalah,”ujarnya sambil mengangsurkan selembar kertas. 

Nuha menerima dengan tangan bergetar. Ia tahu, di kertas itu tertulis hasil analisa sperma. Angka-angka yang tercetak, menjadi dasar keputusan apakan ia bisa menjalankan teknologi reproduksi berbantu ini sekarang atau … tidak sama sekali.

“Hasilnya mengejutkan, aku pun hampir tak mempercayainya.  Benih-benih itu masih sehat, berenang dengan cepat saling mendahului.  Hari ini juga kuputuskan, engkau menjalani program inseminasi,” kata dokter setengah baya itu.  “Setelahnya, engkau boleh pulang. Banyak berdoa. Sesudah sperma dilepaskan, ia akan mencari jalannya sendiri dengan tuntunan Allah. Tunggu empat belas hari ke depan, lihat apa yang terjadi.”

“Aah … aku … aku … masih belum jelas, dokter. Terutama soal kejadian di empat belas hari lagi itu. Apa lagi yang harus kuperbuat?” Nuha agak kebingungan.

“Ooh, engkau ini, Nuha,” dokter tertawa terbahak-bahak.  “Yaah … aku baru ingat, engkau belum pernah hamil sebelumnya.  Pasti bingung.  Begini, kalau sperma itu berhasil membuahi sel telur dan kemudian terjadi kehamilan, maka engkau tidak akan mendapati haidmu di tanggal yang semestinya, jelas?”

Giliran Nuha yang tersipu. Betul juga.  Bukankah kedatangannya kesini untuk memperoleh kehamilan. Walau tidak sepenuhnya alamiah, melainkan dengan campur tangan manusia.  Istilahnya, teknologi reproduksi berbantu.  Namun ia yakin, Allahlah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan dan teknologi.  Manusia mendapatkan setetes saja dari samudera ilmu itu untuk menolong manusia lain. Dalam konteks lebih besar, untuk Palestina yang dijajah ini, kelahiran generasi penerus menjadi hal yang sangat besar urgensinya. Maka tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi untuk mencapai tujuan tersebut.

Suaminya, Yasin,  sudah sabar menanggung penderitaan di penjara – siapa pun tahu bagaimana kejamnya penjara Israel. Pasti untuk bisa memperoleh sperma dan menyelundupkannya bukan hal yang mudah. Nyawa taruhannya. Maka sudah semestinya Nuha mengimbangi dengan perjuangan yang sama. Menerima takdir kehamilan tanpa adanya suami, termasuk mungkin pertanyaan-pertanyaan dari kerabat atau bahkan kecurigaan dari tentara penjajah saat ia menjenguk Yasin, suatu saat nanti. Entah kapan.

            Nuha mulai menapaki jalan perjuangan itu tatkala empat belas hari kemudian dia menengarai bahwa haidnya memang tidak datang. Tiga hari kemudian tetap tidak datang. Dan sebulan kemudian haid itu masih tak kunjung muncul, disusul ada rasa mual menyergap lambungnya di pagi hari … maka ia pun berucap, “Selamat datang buah cinta untuk Palestina!”

Catatan kaki

  1. Surat Al Mukminun ayat 5-7
  2. Surat Al Mukminun ayat 12-14

Menjemput Syahadah

Duka dan keprihatinan akan apa yang terjadi di Palestina, semakin menusuk dan mendalam. Ini karena mendengar berita bahwa dr. Mueen al Shurafa, SpAn dikabarkan syahid setelah rumah beliau kena bom.

Bagi BSMI, dr. Mueen ini istimewa, disebabkan beliau adalah salah satu penerima beasiswa BSMI utk mengambil pendidikan spesialis di Indonesia. Ia memilih bidang anestesi. Lulusan fakultas kedokteran di Nigeria ini akhirnya menempuh residensinya di FK Universitas Sebelas Maret, Solo.

Sejak dijemput dari Gaza pada 2010 dr. Mueen langsung mengikuti prosedur pendidikan di Indonesia, yang diawali dengan kursus bahasa selama 6 bulan, lalu dilanjutkan dengan program adaptasi di FK UGM selama 6 bulan juga. Pada 2011, keluarganya (istri dan 3 putri kecil) datang menyusul. Disebabkan proses UKDI (sekarang menjadi UKMPPD) yang harus ditempuh lebih dari sekali, maka waktu yang ada dimanfaatkan untuk menempuh S2, di UGM juga.

Baru setelah lulus S2 Anestesi di UGM, langsung dilanjutkan menempuh program pendidikan spesialis. Jadilah dr. Mueen residen PPDS Anestesi di FK UNS, Solo. Proses yang ditempuh dengan jatuh bangun ini tak dapat dilepaskan dari campur tangan dan kebaikan dari sejawat dr. Heri, SpAn dan kepala departemen Anestesi dan Terapi Intensif FK UNS, dr. Purwoko, SpAn. Pendidikan yang melelahkan itu pun akhirnya selesai juga. Agustus 2018, beliau dinyatakan lulus menjadi spesialis anestesi.

Menurut dr. Purwoko, sedianya, pelantikan dokter spesialis dan penyerahan ijazah akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2018. Namun ada kabar bahwa pintu Rafah (perbatasan Gaza – Mesir) akan dibuka pada September 2018. Sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Gaza tanpa ijazah. https://youtu.be/PpGBFDG8yqo?si=GuVjkbwZfh-TZx6Q . Proses kepulangan tak makan waktu lama, ia sekeluarga kembali ke Gaza. Kami sempat adakan perpisahan kecil di Solo dan mengantarkannya di bandara Adi Sumarmo, Solo. Oya, putri beliau yang pada 2011 masih 3 gadis kecil, tentu saja saat pulang sudah gadis remaja, dan mereka 4 adik lagi selama di Indonesia!

dr. Mueen rahimahullah duduk paling kiri beserta 2 anak perempuannya. Di sebelahnya adalah ibu Samah, istrinya dengan anak ketiga. Saya duduk di sebelah ibu Samah

Kisah kepulangan beliau, saya abadikan dlm buku #MembalutLukaGaza

Jum’at, 1 November 2023, jam 03.00 WIB – pekan ketiga perang dengan z 1onis berkecamuk di Gaza

Saat itu jelang subuh di Surabaya, beliau menelepon suami , lalu cerita-cerita. Ini tidak biasanya. Selama ini selalu kami duluan yang menanyakan kondisi beliau. Sebelumnya beliau cerita kalau harus tinggal di RS Kamal Adwan sedangkan keluarganya mengungsi. Keluarga minta balik ke rumah Gaza, malah dilarang sama beliau karena berbahaya. “Istri saya nangis-nangis minta balik ke rumah Gaza, tapi saya tidak boleh.”

Saat adzan subuh, suami serahkan telepon ke saya utk lanjut cerita. In syaa Allah nanti dishare.

Siapa sangka, beliau yang sehari2nya di RS, ternyata lalu pulang ke rumah Gaza. Tujuannya menengok ayahnya yang sudah sepuh dan kesulitan berjalan. Di rumah Gaza City masih tinggal beberapa orang keluarganya. Namun sejak 2 hari sebelumnya serangan bom semakin masif. Dan itu menghalangi dirinya untuk kembali ke rumah sakit. Sampai akhirnya beliau jemput syahidnya di rumah. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.


Selamat jalan dr. Mueen. Kami bersaksi engkau orang baik. Tentu saat ini engkau sedang menikmati jamuan Allah tanpa terganggu bombardemen penjajah laknat itu.

Semoga kami yang masih tinggal Allah beri kesempatan untuk menyaksikan kemerdekaan Palestina.

“Satu Menit Sepuluh Pasien”

Kalimat itu diucapkan oleh dokter Mueen Al Shurafa, seorang dokter spesialis anestesi alias dokter ahli bius di rumah sakit Kamal Adwan, Gaza. Sebagai seorang dokter bius maka tindakan medis apa pun yang membutuhkan pembiusan menjadi tanggung jawabnya.  Di tengah-tengah serbuan bom dan rudal, rumah sakit menjadi jujugan orang-orang yang terluka. Jumlah korban yang datang tentu tidak sedikit, melainkan berbondong-bondong. Kiranya kalimat “Satu menit sepuluh pasien” itu sudah cukup menggambarkan bagaimana besarnya gelombang pasien yang datang. 

Saat ditanya kebutuhan yang mendasar untuk menjamin rumah sakit tetap beroperasi, dokter spesialis lulusan UNS , Solo itu menjawab pendek, “Listrik!”

“Saat ini kami masih bisa menggunakan generator.  Tapi kalau bensinnya habis, itu masalah besar!” sambungnya lagi.

“Kami juga butuh dokter, terutama dokter bedah. Bedah orthopedi, bedah plastik, bedah saraf,” terangnya.

Sebagai salah seorang penerima beasiswa dari Bulan Sabit Merah Indonesia, dokter Mueen memulai studinya sebagai residen Ilmu Anestesi di UNS pada 2010.  Tentu jalannya tidak mudah, sejak BSMI menjemput di Gaza, kemudian dimulai dengan adaptasi dokter umum terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan uji kompetensi.  Akhir 2018, setelah menamatkan pendidikannya ia langsung memboyong keluarganya kembali ke Gaza. Kala itu putra putri beliau sudah sangat fasih berbahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa.

Serangan penjajah Israel kali ini memang sangat dahsyat, dan korban gugur lebih banyak. Ironisnya, dalam situasi sedemikian membahayakan, para dokter dan tenaga kesehatan lain justru tidak bisa pulang ke rumah. Jumlah pasien yang sangat banyak dan perlu ditolong menjadi penyebab utama, di samping perjalananan pulang pergi dari rumah ke rumah sakit bisa berbahaya.   Dokter Mueen pun mengalami hal yang sama.

“Sudah seminggu saya tidak pulang. Keluarga saya mengungsi di Rafah, dan saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka,” ungkapnya.    Hal ini bisa dimaklumi karena listrik hanya ada di rumah sakit. Lagi pula tempat pengungsian warga bisa saja berpindah-pindah. Karena tatkala sebuah wilayah dibom, maka itu pertanda harus segera pindah ke lokasi yang lebih aman.

Namun inilah istimewanya orang Palestina. Walaupun mereka hidup dalam ancaman pengeboman setiap saat atau ibaratnya hidup di ujung rudal, namun percakapan diakhiri dengan doa.

“Doa dari Gaza. Allah bless Indonesia dan bless BSMI!” pungkasnya.

Sekarang 2023 para dokter penerima beasiswa BSMI tersebut telah bermanfaat menolong warganya. Rasanya seluruh kerumitan dahulu sirna mendengar hal tersebut. Pendidikan memang investasi dan jalan kemajuan. [nin]

Kacamata

Tidak jarang saya mendengar komentar orang tentang adanya seseorang yang dianggap mirip saya. Apa alasan mereka berkomentar seperti itu? Ternyata alasannya hampir seragam yaitu, “Kan sama-sama pakai kacamata!”


Oh, rupanya sampai sebegitu pengaruh kacamata. Maklumlah, sudah lama sekali saya mengenakan kacamata. Tepatnya sejak kelas 2 SMP. Konon, menurut analisa almarhumah ibu , karena posisi kelas 2B di SMP Negeri 1 Surabaya itu ada di pojok, terhalang oleh bangunan kelas lain sehingga suasanya gelap. Wallahu a’lam. Faktanya selama 2 tahun menghuni kelas tersebut ada beberapa orang teman yang jadi pemakai kacamata minus.


Sesuai patofisiologi, mata minus disebabkan oleh bentuk bola mata yang terlalu lonjong. Maka seiring dengan masa pertumbuhan maka angka minus akan meningkat. Dimulai dari minus setengah, perlahan tapi pasti setiap 1-2 tahun terjadilah pertambahan angka. Menginjak dewasa setamat SMA, saya menetapkan diri tidak mau nambah minus lagi. Mentok di angka minus tiga. Demikian juga angka-angka silinder saya abaikan saja karena tidak merasa terganggu. Berakhirlah era mengunjungi dokter mata. Untuk ganti kacamata cukup periksa ke optik saja. Ganti kacamata hanya kalau ada kerusakan. Yang paling sering sih, gagang patah dan kaca pecah. Apalagi setelah punya anak. Frekuensi kerusakan kacamata makin meningkat. Bagaimana tidak, saat digendong yang pertama diraih dengan tangan kecilnya adalah kacamata! Sejak saat itu, saya merasa perlu punya kacamata cadangan.


Qadarullah, yang ditetapkan menjadi suami saya adalah laki-laki berkacamata. Lebih tebal pula lensanya alias minusnya tiga kali lipat lebih tinggi dari pada saya. Alhasil, kelima anak kami pun berkacamata. Empat orang dengan minus ringan seperti saya, dan satu orang dengan minus tinggi seperti ayahnya. Beranjak lansia, suami ternyata mengalami katarak dan harus dioperasi. Digantilah lensanya dengan lensa tanam. Otomatis minusnya hilang. Maka kacamatanya lebih tipis dari punya saya. Kacamata anti radiasi untuk melindungi dari cahaya komputer. Demikianlah kisah kacamata. Teman membaca, teman mengaji, dan teman menuliskan kisah. [nin]

VAKSIN HPV, PENDATANG BARU VAKSIN WAJIB

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 19 April 2022, menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan pernyataan yang menggembirakan tentang vaksin.  Pernyataan tersebut adalah,  vaksin Human Papilloma Virus (HPV) yang fungsinya untuk mencegah kanker serviks akan menjadi vaksin yang wajib.  Dengan konsekuensi vaksin tersebut tidak berbayar.  Kontan hal ini memicu berbagai komentar, namun mayoritas adalah komentar yang positif.  Kebanyakan mengira bahwa vaksin HPV tersebut layaknya vaksin covid sehingga siapa saja dan dimana saja wajib menerimanya dengan cuma-cuma. Namun kenyataannya tidak sepenuhnya demikian.

Gardasil, contoh vaksin quadrivalen

Mengapa vaksin HPV?

Boleh dikatakan penemuan vaksin HPV ini menjadi titik terang dari penanganan kanker serviks.  Seperti diketahui kanker serviks adalah keganasan dengan angka kesakitan dan kematian tertinggi yang diderita oleh kaum wanita.  Kanker ini menyerang mulut rahim, yaitu satu areal sempit yang merupakan ujung dari leher rahim.  Beberapa faktor yang ditengarai bisa memperbesar peluang seseorang terkena kanker serviks  adalah multiparitas (banyak melahirkan) yang dikaitkan dengan usia muda saat hubungan seksual pertama dan banyaknya pasangan seksual, merokok, dan penyakit menular seksual terutama virus herpes dan HIV. 

Penelitian di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa virus HPV terdeteksi pada 99,7% kasus kanker serviks.  Sehingga virus ini sangat memegang peranan dalam perjalanan penyakit kanker serviks.  Selain itu HPV juga ditemukan pada kanker vagina, penis, anus, dan mulut.  Khitan pada pria menurunkan risiko infeksi HPV pada penis, demikian juga menurunkan kejadian kanker serviks pada pasangannya.

Ada banyak sekali tipe HPV, dan tidak semuanya menyebabkan kanker.  Sehingga dibuatlah klasifikasi dari sekian banyak tipe itu  dilihat dari besarnya risiko menjadi penyebab kanker menjadi 3 kriteria, yaitu risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah.  Ada 2 jenis vaksin HPV yang beredar di Indonesia , yaitu bivalen (mencegah 2 tipe virus :  16 dan 18) dan quadrivalen (mencegah 4 tipe virus : 6,11, 16, 18).  Di Amerika Serikat sudah ada vaksin HPV yang mencegah infeksi 9 tipe virus.

Kapan Mulai Pemberian Vaksin?

 Ada dua golongan penerima vaksin HPV yakni wanita yang belum menikah (belum pernah berhubungan seksual) dan yang sudah menikah (sudah berhubungan seksual).  Untuk golongan yang belum menikah, vaksinasi HPV bisa dilakukan kapan saja.  Dianjurkan sedini mungkin yaitu mulai usia 10 tahun.  Untuk anak sekolah, diberikan pada siswi kelas 4 dan 5 atau 5 dan 6 dengan selang waktu 6 bulan.  Nah, vaksinasi inilah yang menjadi vaksin wajib dan tidak berbayar.

Sedangkan untuk yang sudah menikah diperlukan penapisan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa sedang tidak mengalami infeksi HPV.  Penapisan tersebut berupa pemeriksaan Pap Smir.   Setelah didapatkan hasil normal pada Pap Smir makan bisa langsung diberikan vaksin HPV tersebut.  Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1-3 bulan dan 6 bulan.

Vaksin HPV ini kontra indikasi  untuk ibu hamil  namun bisa diberikan untuk ibu menyusui.  Bila ternyata seorang wanita hamil padahal dosis vaksin belum lengkap, maka sisa dosis yang belum lengkap bisa diberikan setelah bersalin.  Sebaliknya, bila sudah lengkap menerima 3 dosis vaksin HPV, tidak ada batasan waktu minimal untuk hamil.  

Seorang wanita yang sudah menerima vaksinasi HPV sebanyak 3 kali tetap dianjurkan untuk Pap Smir dengan selang waktu yang lebih jarang (3 tahun sekali) untuk skrining kemungkinan infeksi dengan HPV tipe lain.         Vaksinasi bisa dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, atau dokter praktik swasta.

Laki-laki perlu vaksin juga?

Ini pertanyaan menarik.  Yup, laki-laki juga dianjurkan vaksinasi HPV, meskipun saat ini fokus perhatian masih di pihak wanita.  Untuk laki-laki,  pastikan vaksinasi  HPV dengan jenis quadrivalen karena bisa mencegah infeksi dengan HPV tipe 3 dan 11 yang menyebabkan penyakit kutil kelamin (Condyloma accuminata)  [nin]

Normalkah Mual dan Muntah Saat Hamil Muda?

Simak penjelasan tentang mual dan muntah selama hamil terutama hamil trimester 1 di tautan berikut ini. Penjelasan meliputi penyebab mual dan muntah dan bagaimana mengatasi secara sederhana di rumah. Selain itu saya jelaskan juga tanda-tanda bahaya yang harus dikenali agar tidak terlambat dalam mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan.

Tak lupa, kiat-kiat bagaimana berselancar di tengan gelombang rasa yang mengaduk-aduk lambung. Bagaimana memilih makanan dan jenis apa yang sementara sebaiknya dihindari.

https://republika.co.id/berita/qlc3qg483/normalkah-mual-dan-muntah-saat-hamil-muda

BAGAIMANA MERAWAT JAHITAN PASCA PERSALINAN NORMAL?

“Dapat jahitan berapa?” tanya seorang ibu kepada anak perempuannya yang baru saja melahirkan.

Kok bayimu kecil jahitannya banyak yah? Bayiku kemarin lahirnya tiga setengah kilo tapi aku gak ada jahitan, tuh”, celoteh Gina seorang ibu muda kepada sahabatnya lewat percakapan whatsapp.

“Dokter, nanti jahitan saya bakal jadi daging, tidak ya?”

“Awas, jangan jongkok atau duduk di bawah, ntar jahitannya gak jadi, lho”

“Jangan makan ikan, bikin jahitan basah. Lama sembuhnya!”

*****

Waah, bicara tentang jahitan memang seolah tak ada habisnya. Uniknya, dari jaman puluhan tahun yang lalu  sampai sekarang tema yang dibahas kesannya itu-itu saja.  Padahal, ini bukan jahitan model baju yang memang ada musimnya. Baju jaman tahun 90an berbeda dengan model jaman tahun 2020 seperti sekarang.  Sama sekali bukan.  Yang dibicarakan ini adalah jahitan pasca persalinan, khususnya persalinan normal.  Ternyata bukan hanya operasi yang pakai jahitan.  Lantas apa yang mesti dijahit pada persalinan normal?

Pada persalinan normal, bayi lahir melalui vagina sebagai jalan lahir.  Rata-rata bayi mempunyai berat lahir lebih kurang 3000 gram.  Kepala merupakan bagian bayi dengan diameter terbesar, yaitu antara 9 – 9,5 cm.  Kepala dengan diameter di atas 9,5 cm, masuk kategori “besar”.  Selain itu komposisi kepala sebagian besar merupakan bagian keras (tulang).  Otomatis dinding vagina yang terdiri dari otot harus “melar” sesuai dengan diameter kepala bayi.  Meskipun di lain pihak, ukuran kepala bayi pun bisa menyesuaikan dengan jalan lahir.  Bagaimana caranya? Allah menciptakan tengkorak bayi bukan satu tulang utuh, melainkan beberapa tulang yang saling menyambung membentuk kepala.  Sambungan tersebut dinamakan sutura.  Pertemuan beberapa sutura membentuk bagian yang kita kenal sebagai ubun-ubun.  Dengan adanya sutura ini, maka kepingan-kepingan tulang tengkorak bisa saling tumpang tindih.  Peristiwa ini disebut “penyusupan” (moulage).  Akibatnya ukuran kepala bisa agak mengecil, atau bahkan bisa tampak tidak simetris (peyang).

Kepala Bayi Lahir

Lahirnya kepala akibat adanya dorongan yang berasal dari kontraksi ditambah tenaga mengejan ibu.  Dorongan ini tidak main-main, karena bisa mencapai tekanan sebesar 30-50 mmHg!  Akibatnya bisa terjadi robekan pada jalan lahir.  Yang paling rentan adalah bagian perineum, yaitu area antara pintu vagina dan anus.  Area ini memang tipis dan sangat teregang sehingga mudah robek.  Pada persalinan pertama kali, perineum masih kaku, sehingga  menyulitkan lahirnya kepala.  Karena itu terkadang dokter/bidan membantu melebarkan dengan menggunting bagian perineum (episiotomi).  Pada persalinan berikutnya perineum sudah lebih lentur, sehingga episiotomi hampir tidak diperlukan lagi.  Namun demikian, robekan spontan masih sering sekali terjadi.  Nah, robekan perineum inilah yang mesti diperbaiki dengan jahitan.

Robekan pun ada gradasinya.  Dari yang paling ringan, grade 1 sampai yang paling berat, grade 4.   Pada gradasi yang paling berat ini, robekan bukan hanya mengenai perineum, namun sampai ke rektum dan otot lingkar anus. 

Apakah yang harus dilakukan di rumah untuk merawat jahitan perineum ini?

  1. Jaga kebersihan. Ini meliputi cebok sehabis buang air kecil dan – terutama – buang air besar.  Jangan khawatir, karena saluran untuk BAB dan BAK ini sama sekali berbeda dengan perineum dan vagina. Memang awalnya terasa nyeri dan sedikit bengkak, namun jangan menjadi penghalang untuk membersihkan dengan baik. Bersihkan dengan baik sampai ke lipatan-lipatan, karena sisa kotoran (feses) mungkin saja akan tersangkut di sana.  Jangan khawatir apabila teraba benang, karena benang itu akan rontok nantinya. 
  • Jangan tahan BAB.  Kerjakan buang air besar pada waktunya. Pada umumnya para ibu habis bersalin tidak langsung BAB pada keesokan hari pasca bayi lahir.  Ada 2 penyebab, pertama mungkin dilakukan pembersihan poros usus (rectum) dari feses menjelang persalinan, atau kemungkinan kedua karena kekhawatiran nyeri dan “jahitan terbuka” sehingga menahan BAB.  Yang bermasalah adalah tindakan menahan BAB ini, karena semakin ditahan konsistensi feses akan semakin keras.  Akibatnya saat  feses akan keluar akan makin terasa nyeri.
  • Cukup minum, jangan kurang dari 2500 cc per hari.  Kebutuhan cairan minimal ini wajib dipenuhi dan kalau bisa lebih.  Manfaatnya banyak.  Pertama, terjadi peningkatan kebutuhan cairan karena ibu dalam kondisi menyusui.  Selain cairan basal untuk metabolisme tubuh, juga tambahan cairan untuk bahan dasar ASI.  Kedua, cairan yang cukup akan mencegah terjadinya sembelit, sehingga akan memudahkan proses BAB
  • Diit tinggi protein.  Protein adalah zat pembangun, termasuk perbaikan jaringan yang rusak (baca: penyembuhan luka).  Karena itu tidak tepat bila ibu pasca bersalin jadi korban mitos “harus pantang telur dan ikan laut supaya lukanya tidak basah”.  Perlu dipahami, bahwa luka di areal perineum ya tidak mungkin kering.  Tapi justru di sinilah letak kebesaran Allah SWT, karena di areal basah dan tidak steril tersebut malah cepat sembuh.  Hal ini dimungkinkan karena daerah tersebut sangat kaya akan pembuluh darah.  Jadi yang perlu dipastikan kondisinya adalah kebersihan dan kecukupan protein.
  • Konsumsi suplemen.  Sesuai dengan namanya, maka suplemen sifatnya adalah melengkapi dan menambahkan.  Biasanya berupa multivitamin atau vitamin C dosis tinggi.  Suplemen ini akan membantu kebugaran ibu dan membantu proses penyembuhan. Seperti kita ketahui, bagi seorang ibu setelah selesai menjalani proses persalinan yang melelahkan bukan lantas bisa santai-santai rebahan, tapi tugas berat lain justru menanti.  Menyusui dan merawat bayi baru lahir sangat menyita waktu dan energi.  Karena itu penting keberadaan suplemen ini, disamping makan bergizi dan istirahat yang cukup
  • Konsumsi obat penghilang nyeri.  Memang ini tidak wajib, tetapi peranannya cukup penting.  Kenapa? Dengan tidak merasakan nyeri, in syaa Allah, seorang ibu akan bisa makan dengan nikmat dan beristirahat – walau sebentar – dengan nyaman.  Demikian juga dalam proses BAB, BAK beserta istinja’ (cebok)nya akan bisa bersih karena tidak merasakan nyeri.  Sehingga secara tidak langsung akan membantu proses penyembuhan.
  • Tetap bergerak.  Lho, katanya harus cukup istirahat. Kok malah disuruh tetap bergerak?  Begini, yang dimaksud tetap bergerak di sini adalah ibu tidak harus bedrest.  Tetaplah beraktivitas seperti biasa, jangan takut bergerak.  Tenang, jahitan tidak akan lepas hanya karena berjalan cepat, BAB jongkok, atau duduk di lantai.  Bahkan ibu dianjurkan melakukan olahraga ringan, semisal senam nifas.  Salah satu keuntungan bergerak atau mobilisasi adalah melancarkan sirkulasi darah,  yang pada akhirnya akan mempercepat penyembuhan.

Semoga setelah membaca tulisan ini, para ibu tidak takut dan khawatir lagi dalam menyikapi jahitan pasca persalinan normal. Wallahu a’lam