Ngobrol dengan TKW

Suasana ruang tunggu di gate 7 terminal 2 keberangkatan bandara SOETA amat penuh.  Wajah-wajah lelah dan mengantuk memenuhi seluruh kursi.  Maklumlah hari itu, Senin 4 Mei dini hari, jam 00.30.  Kami menunggu pesawat Emirates yang akan terbang ke Dubai.  Dari Dubai, perjalanan akan dilanjutkan dengan pesawat Emirates yang lain menuju Teheran.  Ternyata saya temukan sebuah kursi kosong. 

“Silakan duduk,” kata perempuan di sebelah kursi kosong tersebut. 

“Mau ke Dubai,bu?”, saya membuka percakapan. 

“Tidak.  Saya mau ke Qatar”, jawabnya.  Teman di sebelahnya lagi menimpali :”Nggak, kok.  Kami memang mau ke Dubai”.

“Eh iya, ya. Betul kami memang mau ke Dubai”, jawab si ibu yang bernama Rasi tersebut.  Sedangkan perempuan lebih muda yang duduk di sebelahnya bernama Aisyah.  Keduanya TKW. “Maklumlah, saya ini tidak tahu nama-nama kota”, jelas Rasi.  Lalu tanpa diminta Rasi dan Aisyah pun bercerita.  “Saya sudah pernah kerja sebelumnya, tapi di Saudi.  Di Riyadh”. 

Gambar

 “Kalau gak jadi TKW mana mungkin orang seperti kami bisa naik pesawat”.

” Memang pekerjaan seperti ini taruhannya nyawa.  Kalo di negeri sendiri, bayarannya sedikit, taruhannya nyawa juga”.

“Pokoknya kalo sudah pernah ngerasakan kerja di luar pasti pingin lagi, pingin lagi berangkat.  Padahal kalo sudah kerja disana bawaannya pingin pulang”.

“Majikan saya di Riyadh dulu sih baik.  Semoga nanti di Dubai bisa dapat yang lebih baik lagi”.

Demikianlah mereka bercerita saling menimpali.

“Ngomomg2, PJTKI nya apa dan kantornya dimana, bu?”, saya bertanya sambil membayangkan kantor PJTKI yang bertebaran di kawasan Condet, tempat tinggal saya.

“Iya, PT Anu, di jalan Munggang”. 

“Lho, itu kan di Condet!”, seruku dalam hati.

Memang, saat praktek, acap kali ada pasien TKW.  Mereka biasanya dirujuk karena ada permasalahan yang tidak bisa ditangani oleh dokter di PJTKI, atau istilahnya TKW yang “medical” nya masuk katagori “Unfit”.  Macam-macam kasusnya, dari perdarahan disfungsi sampai tumor.  Tetapi yang paling sering adalah kehamilan, atau hasil test pack positif padahal “sudah tidak hamil”.  Tentu saja mereka menempuh berbagai cara agar tidak jadi hamil.  Sayang kan, sudah keluar uang untuk   pendaftaran, ternyata tidak jadi berangkat, begitulah rata-rata alasan yang dikemukakan saat saya tanyakan alasan perbuatan menggugurkan kandungannya.  Sedikit dari mereka, setelah saya menasihati panjang lebar, akhirnya ikhlas menerima kehamilannya dan kemudian pulang ke kampung asalnya (semoga demikian).

Tentu kita bertanya, kalau keberangkatan menjadi TKW itu sudah direncanakan, mengapa mereka tidak memakai kontrasepsi? Ada beberapa jawaban : pertama, karena ketidaktahuan (rata-rata TKW berpendidikan rendah ).  Kedua, di penampungan PJTKI mereka yang sedang menggunakan kontrasepsi (susuk, AKDR, dll) diwajibkan melepasnya.  Padahal masa di penampungan itu sangat tidak jelas.  Bisa berhari-hari sampai berbulan-bulan.  Terkadang mereka bisa pulang kampung semasa libur.  Di saat pulang kampung itulah terjadi kehamilan.  Ketiga, sudah tahu akan berangkat, dan sudah tahu bahwa dirinya hamil (terkadang ada pengantin baru yagn belum punya anak, atau pengantin lama yang belum juga dikaruniai hamil… ) tetapi percobaan penggugurannya tidak berhasil.

Sehingga, saat tiba di bandara Internasional Dubai, saya melihat puluhan wajah-wajah Indonesia yang kelelahan dan mereka berhamparan lesehan di lantai ruang tunggu bandara modern itu.  Tanpa sadar saya menarik jilbab sehingga logo merah putih yang menempel di jas saya tertutup.

Memang mereka adalah pahlawan devisa.  Tetapi haruskah Indonesia terus-terusan berpredikat pengekspor tenaga pembantu rumah tangga?  Di balik bisnis TKW, bertaburan berbagai masalah kesehatan reproduksi .

  Catatan tahun 2009

Foto dari : http://www.langitperempuan.com

4 thoughts on “Ngobrol dengan TKW

  1. bukannya kalau jalur resmı ada pendıdıkannya gıtu bu. kayak ada pembekalan dahulu.. saya sıh pernah baca2 tp mungkın prakteknya engga berjalan ya.

  2. Bu dokter, dulu saya tukang ngasuh TKW bermasalah, karena ternyata mereka banyak yang pada stress di pekerjaannya sehingga harus diurus negara di KBRI/KJRI. Dalam hal perekrutan dan pemberangkatan TKI pada umumnya menurut pengamatan saya, yang salah adalah PJTKI nya. Mereka ini bandel, tidak taat aturan dan betul seperti apa yang bu dokter bilang mau coba-coba nyuap pejabat yang berwenang mengurus TKI itu. Sedih deh……..

    Biro Latihan Kerja TKI yang tahun 2004 diresmikan bu Mega di Batam apa kabarnya ya sekarang?

    • sugeng rawuh, bu Julie. Ini salah satu keistimewaan WP yang tidak dipunyai MP, yaitu komentator tidak harus punya akun WP.
      Memang kebanyakan PJTKI itu curang, bu. Di kediaman saya bertebaran PJTKI dengan asramanya yang sampai masuk2 gang. Sudah pernah disidak oleh menakertrans, tutup sebentar, kemudian buka lagi. Mereka punya kaki tangan (istilahnya : sponsor) untuk merekrut para ibu dan gadis di pedesaan, dengan jaminan yang cukup tinggi, tetapi masih lebih murah daripada TKI (pria). Di lain pihak, peminat juga sangat banyak, bu. Kalau membaca kisah mereka2 yang sukses dan berhasil meningkatkan taraf hidup saat kembali ke tanah air, kita ikut bahagia. Cuma sayangnya, yang unsucces n sad story sangat banyak juga. BLKLN di tempat saya juga ada, bu. Pengajarnya profesional. Tapi masalahnya tidak semua PJTKI menyekolahkan CTKWnya ke situ.

Tinggalkan komentar